E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Merah Muda & Biru - Bagian 1

 Merah Muda & Biru
 ==================================================
Sebuah cerita fiksi yang ditulis oleh Bois, penulis copo yang masih harus banyak belajar. Cerita ini hanyalah sarana untuk mengilustrasikan makna di balik kehidupan semu yang begitu penuh misteri. Perlu anda ketahui, orang yang bijak itu adalah orang yang tidak akan menilai kandungan sebuah cerita sebelum ia tuntas membacanya.
 ==================================================


Salurkan donasi anda melalui: 
Bank BCA, AN: ATIKAH, REC: 1281625336
 ==================================================


Satu



Siang itu udara terasa begitu menyengat, debu dan polusi terasa menyesakkan. Di dalam sebuah bus kota yang penuh sesak, Bobby terlihat berhimpitan dengan para penumpang, sungguh terasa panas dan melelahkan. Ditambah lagi dengan kemacetan yang sudah menjadi rutinitas Ibu Kota, sungguh sangat menjemukan.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan menyita waktu, akhirnya pemuda itu tiba di tempat tujuan. Kini dia sedang duduk di halte, ngobrol bersama teman barunya sambil menikmati segarnya teh botol dingin.
Suasana halte yang teduh dan agak sepi membuat keduanya betah berlama-lama, apalagi saat itu angin sepoi-sepoi terus berhembus memberikan kesejukan.
Sambil terus menikmati teh botolnya masing-masing, mereka terus bercakap-cakap dengan penuh keakraban. Membicarakan perihal kehidupan mereka yang semakin sulit dan sepertinya tidak punya masa depan. Lama mereka bercakap-cakap, hingga tak terasa sayup-sayup terdengar azan Ashar yang berkumandangmengajak umat Islam menuju kemenangan.
“Wah, sialan! Sudah Ashar. Padahal, kita lagi asyik-asyiknya ngobrol,” keluh Randy.
“Kau jangan begitu, Ran! Seharusnya kau bersyukur karena panggilan itu.”
“Ups! Sorry, Bob! Soalnya sudah jadi kebiasaan.”
“Ya sudah kalau begitu. Yuk! Sekarang kita sholat dulu”
Karena merasa tidak enak, akhirnya Randy terpaksa sholat bersama Bobby di sebuah masjid yang tidak begitu jauh. Usai sholat, Bobby langsung berdoa, pada saat yang sama Randy tampak sedang mengagumi keindahan Masjid itu. Ornamennya yang Islami dengan ukiran bermotif tumbuhan tampak berpadu serasi dengan kaligrafi ayat-ayat suci yang begitu indah. Randy terus terpana dengan keindahan itu, hingga akhirnya Bobby selesai berdoa dan mengajaknya melanjutkan perbincangan yang tertunda tadi.
Kini kedua pemuda itu tengah melangkah ke sudut teras masjid. Suasana di tempat itu tampak begitu nyaman, bunga-bunga yang indah tampak menghiasi area sekitarnyatumbuh di dalam pot-pot yang tertata rapi, bahkan tak jauh dari tempat itu tumbuh sebuah pohon besar yang kerindangannya memberikan kesejukan tersendiri.
“Nah, sekarang kita bisa bincang-bincang lagi, Bob,” kata Randy seraya duduk bersila di tepi teras sambil merasakan sejuknya hembusan angin sepoi-sepoi yang terus bertiup.  
Ketika Bobby hendak duduk di sebelah pemuda itu, tiba-tiba. “Eh, apa itu?” tanya Bobby ketika melihat sebuah benda berkilat tampak tergeletak di dalam sebuah pot bunga.  Lalu dengan segera pemuda itu mengambilnya. Tak lama kemudian, dia sudah duduk di sebelah Randy.
“Apa itu, Bob?” tanya Randy.
“Eng... ini kan dua buah simbol kelamin yang saling terkait,” jelas Bobby seraya memberikan benda itu kepada Randy.
“Betul, Bob! Ini memang simbol kelamin pria dan wanita,” kata Randy sambil terus mengamati benda yang terbuat dari perak itu dengan seksama. “Hmm... merah muda dan biru? Apa maksudnya ya?” tanya pemuda itu heran ketika membaca tulisan yang ada di kedua simbol itu.
“Sini aku lihat!” pinta Bobby seraya mengambil benda itu dan mengamati tulisan yang dibaca Randy. “Hmm... iya ya, apa maksudnya tulisan ‘merah muda’ pada simbol wanita ini dan apa pula maksud tulisan ‘biru’ pada simbol pria ini?” tanya Bobby bingung.
“Sudahlah, Bob! Sebaiknya kau simpan saja benda itu. Mungkin itu cuma souvenir yang dibuang orang karena sudah bosan.”
“Ya, mungkin juga.”
Kedua pemuda itu terus berbincang-bincang, hingga akhirnya. “O ya, Ran. Ngomong-ngomong, sepertinya hari sudah mulai senja. Kalau begitu, sebaiknya aku pamit pulang, lain kali kita bisa bertemu lagi untuk bertukar pikiran.”
“Yoi, Bob. Sampai bertemu lagi. O ya, terima kasih! karena kau sudah memberikan banyak masukan buatku. Terus terang aku senang berkenalan denganmu, karena lewat lidahmulah sedikit banyak aku menjadi mengerti soal arti kehidupan.”
“O ya, masa sih…? Memangnya aku sudah bicara apa saja sehingga membuatmu berpikiran begitu?”
Saat itu Randy langsung mengerutkan keningnya, “Apa maksud kata-katamu itu, Bob?”
“Hehehe…! Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan! Suatu saat nanti kau pasti akan mengerti.”
Tak lama kemudian, Bobby sudah meninggalkan teras masjid. Kini dia sedang melangkah menuju rumahnya yang masih lumayan jauh. Ketika baru memasuki sebuah gang, pemuda itu berpapasan dengan seorang wanita yang sudah sangat dikenalnya. “De-Dewi! Sedang apa kau di sini?” tanya pemuda itu terkejut lantaran wanita yang pernah dicintainya itu kini sedang berada di kampung halamannya.
“Eng… A-aku cuma mau main ke rumah Mala,” jawab Dewi terbata.
“O, begitu…” ucap Bobby ragu seraya memperhatikan seorang anak kecil berusia tiga tahun yang saat itu sedang dituntun Dewi, “Mmm… anakmu sudah besar juga ya, Wi,” sambungnya kemudian.
“Bob...“ Dewi menggantung kalimatnya. “Se-sebenarnya dia ini anakmu,” lanjutnya kemudian.
“A-apa!” Bobby terkejut bukan kepalang, “Di-dia anakku... bagaimana mungkin? Hahaha...! Candamu lucu juga.”
“Sungguh, Bob! Dia memang anakmu,” jelas Dewi dengan wajah serius.
“Bagaimana bisa, Wi? Kita kan tidak pernah berhubungan intim,” ucap Bobby seraya tersenyum karena dia menduga Dewi masih juga bercanda.
“Waktu itu kau sedang mabuk, Bob.”
“Ma-maksudmu?” tanya Bobby dengan wajah serius.
“Ingatkah ketika kau dan Dutty menginap di rumahku?”
“Ya aku ingat.”
“Saat itu kau sedang mabuk berat, dan pada malam itulah aku mengajakmu melakukan hubungan intim.”
“A-apa??? Kita melakukan hubungan intim, ta-tapi… kenapa aku tidak ingat?”
“Saat itu kau sedang mabuk, Bob. Jadi kau memang tidak ingat.”
“Kenapa kau baru bilang sekarang, Wi? Kenapa tidak bilang dari dulu?”
“Percuma saja, Bob. Kalaupun aku beri tahu, kau pasti akan menyangkalnya. Karena saat itu kau memang sedang mabuk, dan kau pasti tidak akan ingat.”
Bobby mencoba mengingat-ingat kejadian malam itu, dan dia memang tidak mengingatnya sama sekali. Mungkinkah hal itu yang mengganggu pikirannya selama ini. Sesuatu sensasi yang pernah ia rasakan, seperti mimpi tapi bukan mimpi. Sesekali terasa begitu nyata, namun terkadang hanya samar saja.
“Bob... masih ingatkah ketika aku mengajakmu menikah?”
“Iya aku ingat.”
“Saat itu sebenarnya aku sedang hamil tiga bulan. Aku berbohong tentang ada seseorang yang mau melamarku, aku pikir saat itu kau masih mencintaiku dan aku menduga kau pasti akan cepat-cepat melamarku, seperti yang pernah dilakukan Jamaltemanmu itu. Ketika si Mala akan dilamar oleh seorang tukang ojek, Jamal pun langsung melamarnya. Tapi... ternyata aku salah duga, kau sama sekali tidak seperti yang kuharapkan.”
“Wi, sesungguhnya waktu itu aku masih mencintaimu, tapi karena malam itu kau telah bercumbu di depan mataku, aku pun terpaksa membencimu. Masih ingatkah peristiwa di rumahmu itu? Malam itu kau bercumbu dengan Dutty, dan malam itu adalah malam yang sama ketika kau bilang kita berhubungan intim.”
“Iya Bob, aku ingat betul tentang hal itu. Saat itu kau memang belum benar-benar mabuk, wajar saja hingga saat ini kau masih mengingatnya. Saat itu aku memang meminta Dutty untuk berhubungan intim, tapi dia menolak. Dia memang tipe orang yang sepertimu, masih takut dengan dosa ketika diajak berhubungan. Karenanyalah aku melampiaskan nafsuku kepadamu yang saat itu sudah mabuk berat, dan ternyata kau pun begitu menikmatinya. Tapi sayang, kau tidak akan pernah bisa mengingatnya.”
 Kini Bobby tertunduk, lagi-lagi pikirannya kembali kepada sensasi yang pernah ia rasakan, dan dia tidak tahu pasti apakah sensasi itu mimpi atau kenyataan. Akhirnya Bobby pun kembali berpikir, “Hmm... apa benar aku pernah melakukannya, dan selama ini aku menduga hal itu sebuah mimpi karena kesamarannya. Sensasi itu kurasakan begitu saja, tanpa ada awal dan akhir peristiwa yang bisa kuingat dengan jelas.”
Bobby kembali memandang Dewi, “Wi... kenapa waktu itu kau tidak berusaha untuk meyakinkanku?” tanyanya pelan.
“Percuma, Bob. Waktu itu kau belum bisa berpikir dewasa, dan disaat itu kau pun begitu benci padaku. Bagaimana mungkin kau mau mengakui hal itu, sedang kau sendiri tidak mengingatnya, kau pasti akan bilang kalau aku berkata dusta dan bermaksud memfitnahmu. Masih ingatkah ketika terakhir kita bertemu, di saat pesta pernikahan Rina.”
“Iya aku ingat.”
“Bukankah saat itu, lagi-lagi aku memintamu untuk menikahiku, dan disaat itu pula aku menjelaskan padamu kalau aku sudah bercerai. Tapi, lagi-lagi kau hanya bersikap dingin.”
“Iya, Wi. Saat itu aku memang sudah tidak mempedulikanmu, walaupun sebenarnya saat itu aku masih mencintaimu. Tapi... Bagaimana mungkin aku menikah dengan wanita yang sudah mempunyai anak, dan saat itu anakmu baru bisa merangkak.”
“Benar kan yang aku bilang? Kau memang masih belum berpikir dewasa. Kau masih terlalu egois dan tidak bijaksana pada dirimu sendiri. Kalau kau memang mencintaiku, kenapa kau masih memikirkan hal lain, yang jelas-jelas telah mengorbankan perasaanmu sendiri.”
“Kau benar, Wi. Selama ini aku selalu saja terbayang akan dirimu, dan sensasi yang aku rasakan bersamamuyang selama ini kuduga hanya dalam mimpi sepertinya memang tidak mungkin kulupakan. Kini aku mengerti, kenapa selama ini aku merasa seperti betul-betul pernah melakukannya bersamamu, dan perasaan itulah yang selama ini begitu menghantuiku. Bahkan, sekarang pun aku begitu menginginkanmu menjadi istriku dan merasakan sensasi itu lagi bersamamu.
Wi... sekarang aku tidak peduli, apakah dia anakku atau bukan, yang jelas sekarang aku akan menikahimu dan mengakui dia sebagai anakku,” kata Bobby seraya menggendong anak yang kini diakuinya sebagai putrinya sendiri.
“Bob... aku bahagia sekali mengetahui hal ini,” kata Dewi seraya menatap pemuda muda itu, kemudian pandangannya segera beralih kepada putrinya. “Intan...! Inilah ayahmu, Nak,” katanya kemudian.
Intan yang belum mengerti perkataan ibunya tidak bereaksi sebagaimanamestinya, dia bersikap acuh seolah perkataan ibunya itu bukanlah hal yang istimewa. Mengetahui itu, Bobby pun tampak tersenyum saja, walaupun di hatinya ada sedikit kekecewaan. Hal itu dikarenakan darah dagingnya itu sama-sekali tidak memperlakukannya sebagai seorang ayah. Andai sejak kecil dia tumbuh bersamanya, tidak mustahil anak itu akan bersikap manja padanya. Kini pemuda itu menatap Dewi seraya menutup senyumnya. “Mari Wi! Katamu, kau mau ke rumah Mala,” ajaknya kemudian.
Akhirnya, Bobby dan Dewi melangkah bersama menuju ke rumah Mala. Saat itu Dewi tampak bahagia karena bisa jalan berdampingan dengan orang yang dicintainya. Setibanya di sebuah warung kecil, mereka mampir sejenak. Maklumlah, saat itu Intan haus dan minta dibelikan minum. Sebagai seorang ayah yang menyayangi darah dagingnya sendiri, Bobby pun membelikannya minum.
“Anak siapa, Bob?” tanya si penjual yang memang sudah mengenal Bobby.
“Anakku,” jawab Bobby terus terang.
“Apa! Kau sudah menikah? Kenapa selama ini aku tidak mengetahuinya?” tanya Mardi hampir tak mempercayainya.
“Eng... sebenarnya aku belum menikah,” jawab Bobby jujur.
“Lho... katanya ini anakmu? Aku jadi bingung.”
“Bingung ya...? Ini memang anakku, dan aku sarankan sebaiknya kau tidak perlu menanyakannya, daripada nantinya kau malah semakin bingung!”
“Itu istrimu, Bob?” tanya Mardi Lagi.
“Bukan... dia bukan istriku,” kata Bobby masih berterus terang.
“O ya, bodohnya aku. Kenapa aku juga menanyakan hal itu? Kalau dia anakmu, tentunya kau sudah menikah, dan dia itu istrimu. Iya kan?”
“Terserah apa katamu,” kata Bobby sengaja tidak meluruskan kata-kata Mardi barusan.
“Anakmu umur berapa, Bob?” tanya Mardi lagi.
“Hmm... berapa ya? Maaf aku juga tidak tau. Eng… Wi! Intan umur berapa sih?”
“Tiga tahun,” jawab Dewi.
“O... tiga tahun, Mar,” kata Bobby seraya memberikan botol kosong kepada Mardi.
“Aku heran... kenapa kau tidak tahu dengan umur anakmu sendiri?”
“Bagaimana aku bisa tau, Mar. Terakhir aku bertemu dengannya, dia itu baru bisa merangkak. Saat itu pun, aku juga tidak tahu berapa umurnya.”
Mardi cuma bengong mendengar penjelasan Bobby, dia benar-benar sudah dibuat bingung. Dalam hati, pemuda itu jadi menduga-duga, “Hmm... jadi selama ini Bobby sudah mempunyai istri, dan istrinya ditinggalkan untuk waktu yang lama. Sungguh tega sekali dia, meninggalkan istri dengan anaknya yang masih kecil. Apakah dia meninggalkan anak dan istrinya untuk mencari uang, tapi... sepertinya tidak. Selama ini, dia cuma mengejar-ngejar Cindy dan Winda.”
Dari arah Rental VCD terlihat seorang Gadis yang tengah menuju ke warung, dialah Cindy yang selama ini ditaksir oleh Bobby.
“Aduh, cantiknya...” kata Cindy kepada anak yang kini masih di gendongan Bobby. “Anak siapa, Bob?” tanyanya kemudian.
“Anakku,” jawab Bobby terus terang, dan jika dilihat dari ekspresi wajahnya sepertinya dia sudah tidak mengharapkan Cindy lagi.
“Jangan bercanda ah! Menikah saja belum, bagaimana bisa punya anak?”
“Mulanya aku sendiri juga bingung, tapi setelah ibunya menjelaskan semuanya. Kini aku sudah tidak bingung lagi.”
“Aku semakin tidak mengerti, Bob?”
“Sudahlah, lupakan saja! Jika aku ceritakan, kau pasti akan semakin tidak mengerti.”
“Terserahmu deh...” kata Cindy kembali mencandai Intan, “Manis... sini Tante gendong!” katanya lagi seraya menggendong anak itu.
Sambil terus mencandainya, Cindy tampak memperhatikan raut wajah anak itu dengan penuh seksama. “Bob, sepertinya dia memang mirip denganmu,” katanya kemudian.
“Kan sudah aku bilang, kalau dia memang anakku.”
“Ah, ini pasti keponakanmu kan?” duga Cindy masih juga tidak percaya.
“Terserahmu, Ndy,” kata Bobby seraya mengambil putrinya dari gendongan Cindy, “Ndy aku pergi dulu ya! Ayo Wi...!”
Bobby dan Dewi kembali melangkah, saat itu Intan terlihat manja di gendongan ayahnya. Bukan lantaran dia sudah tahu Bobby itu ayahnya, namun karena pemuda itu telah membelikannya minum.
“Bob... kapan kau mau melamarku?” tanya Dewi.
“Hmm... kapan ya? Mungkin secepatnya, Wi”
“O ya, Bob. Memangnya gadis tadi siapa?”
“Dia gadis yang selama ini aku kejar-kejar, tapi sayang... dia tidak mencintaiku.”
“Memangnya kenapa? Kau kan ganteng?”
“Tidak tahu, Wi? Mungkin karena aku masih menganggur barangkali.”
"O, jadi kau masih juga menganggur?”
“Kau pikir aku sudah bekerja ya?”
“Iya... habis penampilanmu rapi sekali.”
“Ini kan, karena aku baru pulang jalan-jalan, Wi. Kalau aku lagi tidak pergi ke mana-mana sih, biasa saja, cuek bebek saja. Lagi pula kini aku sudah tidak peduli lagi dengan penampilanku di kampung ini, dan aku juga sudah tidak begitu mengharapkan cewek-cewek di sini. Karena mereka sudah kenal betul siapa aku, seorang play boy cap kodok. Maklumlah, dulunya aku memang suka gonta-ganti pacar.”
Dewi mencoba menahan tawa mendengar kata-kata Bobby yang seperti memang sudah tidak peduli, “Eng... kalau sekarang apa masih begitu?” tanyanya kemudian.
“Kalau sekarang malah lebih cuek lagi, karena aku kan sudah jadi bapak-bapak. Mana ada gadis-gadis yang mau sama aku, sudah bapak-bapak dan masih pengangguran. Lagi pula, aku kan sudah punya seorang putri yang begini cantik. Dan tentunya kau, sebagai istriku. Itu juga kalau kita jadi menikah.”
“Lho, kok kalau jadi?”
“Ya, tentu saja. Memangnya kawin itu tidak pakai uang, dan memangnya aku tidak perlu memberimu dan anakku makan. Tidak mungkin kan? Sebagai seorang ayah, aku pasti akan bertanggung jawab.”
“Kita menikah saja dengan cara sederhana, Bob. Setelah itu kau cari kerja, biarpun gajinya kecil terima saja!”
“Boro-boro cari kerja, Wi. Orang lain saja pada dikeluarkan.”
“Kerja apa saja deh! Pokoknya, bisa mendapatkan uang.”
“Itulah yang selama ini selalu membuat kupusing. Enaknya kerja apa ya?”
“Jadi kuli kek, kenek angkot kek, atau ikut transmigrasi kalau perlu.”
“Itulah salah satu kelemahanku, Wi. Aku tidak mau kerja yang seperti itu, apalagi ikut transmigrasi. Yang lain saja pada kabur, apa lagi akumana bisa bertahan di tengah hutan begitu?”
“Susah juga ya jadi orang sepertimu.”
“Begitulah, Wi. Orang-orang juga pada bilang begitu.”
“Pantas saja tidak ada gadis yang mau padamu.”
“Mungkin juga, Wi. Tapi masa bodolahaku sudah tidak peduli, yang penting sekarang aku sudah mempunyai seorang putri.”
“Terus, kalau kau sudah mempunyai putri lantas kenapa?”
“Ya tidak kenapa-napa, yang jelas aku ini seorang laki-laki yang sehat dan tidak mandul. Dan aku bangga sekali, ternyata aku bisa juga mempunyai seorang putri. Semula aku pikir aku tidak akan mempunyai keturunan, karena tidak ada gadis yang mau padaku.”
“Bob... kau kenapa sih, kok tiba-tiba omonganmu jadi seperti itu? Padahal, Bobby yang kukenal dulu tidak seperti itu. Sepertinya, sekarang ini kau terlalu pasrah menerima keadaan.”
“Yah, Wi. Aku mesti bagaimana lagi? Sebenarnya aku kaget sekali ketika mengetahui aku telah melakukan perbuatan yang selama ini kubenci. Bagaimana tidak, selama ini aku begitu menjaga kesucianku. Dan sekarang tau-tau aku sudah tidak perjaka, dan semua itu terjadi lantaran peristiwa masa lalu yang sama sekali tidak kuketahui.”
“Jadi... kau menyesal mengetahui semua ini?”
“Tidak, Wi. Bukan itu maksudku. Aku hanya menyesali diriku kenapa bisa sampai berbuat begitu. Terus terang, sebenarnya saat ini aku benar-benar bingung dan belum siap jika harus mempunyai keluarga yang secara instan begini. Masa tau-tau aku harus mempunyai istri dan anak yang berusia tiga tahun. Padahal, aku sendiri belum merasakan bercumbu rayu denganmu. Rasanya tidak adil sekali kalau tau-tau aku harus bertanggung jawab, tanpa imbalan yang seharusnya aku dapatkan.”
“Iya kan, intinya kau tidak mau menjadikan aku istri dan membesarkan anak kita bersama-sama. Kau merasa tidak perlu bertanggung jawab, karena semua itu memang bukan salahmu.”
“Tepat! Begitulah kira-kira. Sebenarnya aku tidak mau mengatakan ini, namun karena kau memang sudah merasa, ya... apa boleh buat.”
“Bob, ternyata hingga saat ini kau pun masih belum bisa bersikap dewasa. Aku benar-benar telah salah duga.”
“Terserahmulah, Wi. Tapi, kau jangan khawatir! Jika aku sudah siap, aku pasti akan melamarmu. Biarbagaimanapun juga, kau adalah ibu dari putriku, dan aku masih mencintaimu.”
“Kalau begitu aku akan selalu menunggumu, Bob. Aku doakan semoga kau bisa cepat mendapat pekerjaan, dan dengan begitu kita pun bisa cepat menikah.”
Setibanya di rumah Mala, Bobby langsung pamit untuk pulang ke rumah. Dalam perjalanan, pemuda itu merenungkan percakapannya dengan Dewi. Saat itu batinnya bergolak, antara mau menerima takdirnya yang demikian dan memperbaikinya dengan bertanggung jawab, atau mendengarkan bisikan setan yang mengomporinya untuk melupakan Tuhan, yang menurutnya tidak bijaksana karena telah menakdirkan dirinya untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang lampauperbuatan yang tidak diingatnya sama sekali dan semata-mata bukan karena kesalahannya.